Guru Besar FKG Bahas Peran Genomik dan Proteomik dalam Precision Medicine

Guru Besar FKG Bahas Peran Genomik dan Proteomik dalam Precision Medicine

NYALANUSANTARA, Surabaya - Precision medicine, atau pengobatan presisi, memungkinkan pengobatan yang lebih terarah sesuai dengan pemetaan genom individu yang unik.

Metode ini merupakan pendekatan spesifik, personal, dan lebih efektif dengan memahami keunikan genetik setiap individu.  

Dalam ilmu biokimia, peran DNA semakin menonjol dalam pengembangan pengobatan personal. Penyesuaian perawatan berdasarkan profil genetik memungkinkan pengobatan yang berbeda untuk tiap individu, meskipun mereka memiliki penyakit yang sama.  

Guru Besar bidang Biokimia Penyakit Jaringan Periodontal Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Indeswati Diyatri, drg., M.Si., membahas topik ini dalam orasi pengukuhannya sebagai guru besar pada Rabu (18/12/2024) di Aula Garuda Mukti, Kampus Merr-C UNAIR.  

Prof. Indeswati menjelaskan bahwa pemetaan genom manusia memberikan manfaat besar dalam pengobatan, termasuk di bidang kedokteran gigi.

“Human Genome Project (HGP) telah menjadi pijakan signifikan dalam precision medicine, yang menjanjikan peningkatan keberhasilan perawatan kesehatan,” ungkapnya.  

Prof. Indeswati menekankan pentingnya kombinasi antara genomik (studi tentang genom secara keseluruhan) dan proteomik (studi tentang protein) dalam precision medicine.

Genom memberikan informasi genetik berupa urutan DNA yang diubah menjadi RNA dan diterjemahkan menjadi protein. Proteomik, sebagai studi tentang protein, memainkan peran penting dalam proses biologis.  

Dalam kedokteran gigi, pemanfaatan data genetik dan protein spesifik memungkinkan peningkatan akurasi diagnosis, efektivitas perawatan, serta pencegahan penyakit. Penelitian juga menunjukkan pengaruh faktor genetik terhadap kondisi rongga mulut.  

“Genomik dalam kedokteran gigi dapat membantu diagnosis penyakit gigi dan mulut, prediksi risiko penyakit, deteksi dini, farmakogenomik, hingga regenerasi jaringan,” jelas Prof. Indeswati.  

Sementara itu, proteomik mendukung diagnosis non-invasif melalui saliva, identifikasi biomarker penyakit, pemahaman mekanisme penyakit, monitoring terapi, dan pengembangan pengobatan berbasis precision medicine.  

Dalam praktiknya, precision medicine mencakup perawatan personal, prediksi penyakit, langkah preventif, hingga intervensi minimal.

Meski demikian, tantangan penerapannya tetap signifikan, seperti kompleksitas data, kesenjangan teknologi dan pendidikan, biaya tinggi, serta isu privasi dan etika pasien.  

“Persiapan matang diperlukan untuk menghadapi tantangan ini agar precision medicine dapat diterapkan secara optimal di masa depan,” tutup Prof. Indeswati.


Editor: Admin

Terkait

Komentar

Terkini