Realita Gula Indonesia yang Tidak Semanis Rasanya

Realita Gula Indonesia yang Tidak Semanis Rasanya

NYALANUSANTARA, Jakarta- Belakangan ini, sebagian besar dari kita hampir tidak bisa menghindari berita, komentar maupun analisa seputar skandal gula. Kasus yang menonjolkan keserakahan tetapi juga ramifikasi politik sebuah kasus korupsi.
 
Tokoh utama dalam drama manis ini adalah Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan. Dia dituduh berlaku terlalu manis pada perusahaan swasta tertentu. Lembong diduga memberikan tiket emas kepada perusahaan ini untuk mengimpor banyak gula. Padahal cadangan gula Indonesia kala itu sudah lebih dari cukup.
 
Menurut Kepala Komunikasi Center for Indonesian Policy Studies Martya Litna Gemellita, kita tidak perlu membicarakan lagi detil-detil dari kasus dugaan korupsi ini. "Yang lebih diperlukan adalah alasan yang mendasari kasus seperti ini bisa terjadi. Apalagi kita banyak bergantung pada impor karena produksi gula dalam negeri masih terbatas," ucapnya dalam keterangan resminya, Sabtu (30/11/2024).
 
Ia menambahkan kasus ini memperlihatkan peran pemerintah terlalu besar dalam menentukan impor. "Birokrasi dan dasar data yang kurang mutakhir seringkali menghasilkan kebijakan yang tak tepat waktu. Pihak swasta jauh lebih mengetahui kondisi pasar dan mampu merespons dengan cepat," ujar Martya Litna.

Realita Gula Indonesia yang Tidak Semanis Rasanya
Sayangnya keterlibatan pemerintah kurang diimbangi dengan koordinasi dan konsultasi yang efektif antara kementerian. Padahal dua hal ini sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi adanya eksploitasi titik-titik lemah dalam peraturan dan perundangan demi keuntungan finansial.
 
"Jadi, skandal ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan pemerintah. Kasus ini juga menyoroti potensi motif politik untuk mempengaruhi proses hukum," katanya. 
 
"Kami di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) percaya bahwa pemerintah perlu lebih mengoptimalkan mekanisme pasar dalam tata niaga gula, serta meningkatkan transparansi dalam proses ini," tukasnya.
 
Pemerintah, tandasnya, perlu memperkuat pengawasan regulasi dengan melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait dalam proses pengambilan keputusan impor, serta mengadakan pertemuan koordinasi rutin untuk menilai kebutuhan domestik dan kondisi pasar. Selain itu, diperlukan juga pedoman dan regulasi yang jelas untuk izin impor, agar tidak dipengaruhi oleh tekanan eksternal.
 
"Proses pemberian izin impor perlu dibuat transparan dengan mengungkapkan kriteria dan keputusan secara publik. Selanjutnya, lakukan audit independen secara rutin terhadap aktivitas dan keputusan impor untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan mengidentifikasi potensi pelanggaran sejak dini," ungkapnya. 
 
Selain memperkuat pengawasan regulasi, penting juga untuk fokus pada peningkatan penggunaan sistem neraca komoditas dan kuota impor untuk pemenuhan konsumsi gula nasional. "Sebagai dasar penerbitan Persetujuan Impor (PI), implementasi sistem neraca komoditas perlu menjadi perhatian, terutama pada mekanisme perhitungan, penetapan, dan pengalokasian kuota impor untuk tiap perusahaan," katanya. 
 
Sistem itu, imbuhnya masih dianggap belum transparan seperti yang dicita-citakan. Penentuan kuota impor yang hanya berdasarkan pada permintaan dan penawaran tanpa mempertimbangkan harga juga tidak efektif. 
 
"Dengan menerapkan langkah-langkah ini, Indonesia dapat menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan efisien untuk mengelola impor gula, mengurangi risiko korupsi, dan memastikan praktik pasar yang adil," tutupnya.


Editor: Redaksi

Terkait

Komentar

Terkini