Demokrasi dalam Bayang-Bayang Algoritma: Prof. Merlyna Lim Bicara Politik Digital di FISIP Undip

Demokrasi dalam Bayang-Bayang Algoritma: Prof. Merlyna Lim Bicara Politik Digital di FISIP Undip

NYALANUSANTARA, Semarang — Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro atau Undip Semarang kembali menunjukkan komitmennya dalam menjembatani wacana akademik global dan lokal. Kali ini, melalui kuliah umum internasional bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia”, Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (DPIP), FISIP UNDIP menghadirkan pakar terkemuka di bidang politik digital dan media sosial, Prof. Merlyna Lim, Ph.D.

Kuliah umum yang digelar di Ruang Teater FISIP UNDIP pada Kamis, 07 Mei 2025, forum ini juga dirangkai dengan diskusi publik bertema “Memahami Politik Algoritma Sosial Media”, yang mempertemukan pandangan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil.

Acara ini dibuka dengan paparan Keynote Speaker, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D., Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip yang juga pakar Demokrasi Digital dari DPIP. Lewat paparannya yang tajam, ia menggambarkan bagaimana harapan besar pada demokrasi digital kini berubah menjadi kekecewaan. Alih-alih memperluas partisipasi, media sosial justru dimanfaatkan untuk membungkam suara, menyebar propaganda, dan membentuk “enklave algoritmik” yang memperkuat polarisasi emosional di masyarakat.

“Ironisnya, apa yang dulu dianggap sebagai ruang bebas kini menjadi arena represi digital,” tutur Dr. Wijayanto. Namun, ia juga optimistis dengan kekuatan masyarakat sipil yang tetap menjadi pilar penting dalam menjaga ruang publik yang sehat. “Dalam menghadapi tsunami disinformasi dan manipulasi opini publik, masa depan demokrasi digital sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan teknologi, serta sejauh mana masyarakat mampu membangun institusi dan norma yang menjunjung deliberasi terbuka dan inklusif,” terangnya.

Sesi utama diisi oleh Prof. Merlyna Lim, yang dengan gaya khasnya memadukan riset akademik mendalam dengan narasi yang membumi. Ia menjelaskan bahwa algoritma media sosial tak hanya membentuk ruang gema (echo chambers), tetapi juga menciptakan jebakan kapitalisme komunikasi di mana ekspresi personal diperdagangkan demi likes dan shares.

“Kita tak lagi bicara untuk memahami, merujuk pada teori Habermas. Kita bicara untuk menang,” katanya. 

Dalam kuliah ini, Prof. Merlyna menjelaskan bagaimana media sosial telah menjadi arena kekuasaan yang dikendalikan oleh algoritma, kapitalisme platform, dan budaya popularitas. Ia juga menyoroti bahaya enklave algoritmik dan polarisasi afektif yang mengancam kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara.


Editor: Holy

Komentar

Terkini