REVIEW Tron: Ares — Ketika Dunia Digital Terasa Hidup, Tapi Jiwanya Tertinggal
Disney kembali membuka portal dunia digital legendaris melalui Tron: Ares, babak terbaru dari waralaba klasik yang dulu memukau pecinta sinema futuristik. Disutradarai oleh Joachim Rønning dan dibintangi Jared Leto serta Greta Lee, film ini mencoba memadukan nostalgia dengan teknologi modern dan isu kecerdasan buatan yang tengah hangat dibahas. Namun, di balik visual megah dan efek CGI yang memukau, Tron: Ares justru terasa seperti pameran teknologi tanpa denyut emosional yang kuat.
Kisahnya berpusat pada Ares (Jared Leto), sebuah program keamanan digital yang dikirim keluar dari “Grid” — dunia maya khas Tron — untuk mencari permanence code, kunci yang memungkinkan entitas digital bertahan di dunia nyata lebih dari 29 menit. Di dunia manusia, Ares bertemu Eve Kim (Greta Lee), CEO idealis Encom yang berambisi menggunakan teknologi tersebut demi kemanusiaan. Namun, niat baik mereka dihadang oleh Julian Dillinger (Evan Peters), pengusaha saingan yang ingin memanfaatkan kode itu untuk kepentingan pribadi.
Secara visual, film ini tidak mengecewakan. Dunia digitalnya kembali memanjakan mata dengan palet warna neon merah-biru, kendaraan futuristik Light Skimmers, serta efek visual yang nyaris sempurna. Penonton versi 3D akan merasakan pengalaman imersif seolah tersedot ke dalam “Grid”. Sayangnya, keindahan visual itu tak dibarengi dengan narasi yang menggugah. Ide besar tentang AI dan kemanusiaan hanya disentuh di permukaan, sementara karakter utama kehilangan sisi emosional yang bisa membuat penonton benar-benar peduli.
Penampilan Greta Lee menjadi titik terang. Sebagai Eve Kim, ia menampilkan ketegasan dan empati yang menahan film ini dari kehampaan emosional. Namun, naskah tidak banyak memberinya ruang untuk berkembang lebih jauh.
Di sisi lain, musik menjadi elemen paling hidup dalam film ini. Trent Reznor dan Atticus Ross menghadirkan skor elektronik yang menghantui dan menggetarkan, memberi kedalaman emosional di saat visual gagal melakukannya. Seperti Wendy Carlos di Tron (1982) dan Daft Punk di Tron: Legacy (2010), musik kembali menjadi jiwa sejati dunia digital ini — ironis untuk film yang justru kehilangan jiwanya sendiri.
Tron: Ares memiliki semua bahan untuk menjadi kebangkitan besar: teknologi canggih, tema relevan, dan warisan sinematik yang kuat. Namun hasil akhirnya terasa seperti simulasi visual dengan pesan moral yang belum matang. Meski begitu, bagi penggemar Tron atau pencinta film sci-fi berdesain megah dan berirama musik elektronik, film ini tetap layak disaksikan di bioskop — tempat dunia digital itu terasa paling hidup, meski tanpa hati yang benar-benar berdetak.
Editor: Lulu
Terkait
Di antara banyaknya film laga Netflix yang generik,…
Film Sore: Istri dari Masa Depan, adaptasi dari…
Terkini
NYALANUSANTARA, BUSAN- Boy grup AHOF menunjukkan peningkatan luar biasa…
NYALANUSANTARA, SEOUL- Lee Jae Wook siap membuat Choi Sung…
NYALANUSANTARA, JAKARTA- Film Dhurandhar, yang dibintangi Ranveer Singh sebagai…
NYALANUSANTARA, JAKARTA- Pameran Impor Internasional China (China International Import…
NYALANUSANTARA, MADRID- Villarreal berhasil naik ke posisi kedua klasemen…
NYALANUSANTARA, JAKARTA- Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) sekaligus Menteri…
NYALANUSANTARA, TORONTO- Pertemuan dua rival sekota, Juventus dan Torino,…
NYALANUSANTARA, CHICHAGO- Arsenal harus puas berbagi angka setelah ditahan…
NYALANUSANTARA, TANGGERANG- Bayer Leverkusen tampil luar biasa dengan mencukur…
NYALANUSANTARA, LONDON- West Ham United berhasil mengalahkan Burnley, sementara…
NYALANUSANTARA, JAKARTA- Union Berlin berhasil menghentikan laju kemenangan beruntun…
Komentar