ULASAN Gowok : KAMASUTRA JAWA, Ketika Pendidikan Seks Bertemu Politik 1965

Dalam budaya Jawa kuno, "Gowok" adalah sebutan bagi perempuan yang mengemban tugas penting: mendidik para pria lajang mengenai kehidupan rumah tangga, khususnya dalam hal menyenangkan pasangan secara intim. Dalam salah satu adegan film yang cukup berani untuk standar film Indonesia arus utama, dua karakter terlibat dalam hubungan seksual. Reaksi penonton yang diselingi tawa cekikikan menunjukkan bahwa barangkali generasi saat ini lebih membutuhkan pendidikan seks daripada para tokoh film yang hidup di era 1950-an.
Seandainya Gowok: Kamasutra Jawa secara penuh menghabiskan durasinya yang mencapai 132 menit (versi uncut) untuk menyelami perjalanan seksual dan pendidikan sensual dalam tradisi Jawa, film ini bisa saja menjadi salah satu karya sinema lokal paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sayangnya, naskah besutan Hanung Bramantyo bersama Aci dan ZZ Mulja Salih justru terlalu melebar, meninggalkan isu utama yang seharusnya dieksplorasi lebih dalam: seksualitas sebagai budaya dan pendidikan.
Kisah dimulai di desa fiktif Bumirejo pada tahun 1950, di mana Ratri (Alika Jantinia) sedang menjalani masa belajar menjadi gowok di bawah bimbingan Nyai Santi (Lola Amaria). Babak awal ini merupakan bagian paling kuat dalam film, di mana penonton diperkenalkan pada tradisi gowok yang nyaris punah, lengkap dengan ritual dan sejarahnya. Menariknya, istilah "Gowok" konon berasal dari tokoh Tionghoa bernama Goo Wook Niang yang memperkenalkan budaya ini setelah tiba di Nusantara bersama Laksamana Cheng Ho.
Film ini mencoba membingkai seks bukan sebagai hal cabul, melainkan sebagai ritual spiritual yang sakral. Hubungan intim ditampilkan sebagai penyatuan jiwa dua insan yang saling mencintai. Namun film ini juga menyiratkan bahwa seks memiliki sisi kelamnya sendiri, terutama jika didorong oleh nafsu tanpa kendali.
Konflik mulai berkembang ketika Kamanjaya (Devano Danendra), anak seorang camat, datang untuk belajar pada Nyai Santi sebelum melanjutkan kuliah. Ketika benih cinta tumbuh antara Ratri dan Kamanjaya, mereka justru melanggar norma dan menyaksikan ritual rahasia di bawah air terjun—adegan yang kental akan nuansa magis dan simbolisme.
Namun arah cerita mulai melebar dan kehilangan fokus saat alur berpindah ke tahun 1965. Tema seksualitas dan romansa yang semula menjadi inti perlahan tenggelam di balik isu-isu baru seperti pemberdayaan perempuan, konflik keluarga bangsawan, serta situasi politik yang menyentuh isu PKI. Sebuah ciri khas Hanung Bramantyo yang tampaknya tak bisa melewatkan konteks sejarah itu.
Penceritaan yang seharusnya berjalan mengalir malah terasa berat dan melelahkan karena terlalu banyak isu yang disuntikkan. Bahkan kemunculan karakter baru di paruh kedua yang tiba-tiba mendapat porsi besar terasa memutus keterhubungan emosional penonton dengan cerita.
Editor: Lulu
Terkait
NYALANUSANTARA, Kudus- Sebagai bagian dari tren remake live-action Disney,…
Disutradarai oleh Sejal Shah dan dibintangi Nawazuddin Siddiqui,…
Terkini
NYALANUSATARA, BANJARMASIN- Oppo resmi meluncurkan dua ponsel terbaru di…
NYALANUSANTARA, KOBE- Penasaran dengan tanggal dan waktu rilis bab…
NYALANUSANTARA, SEMARANG- Kecelakaan lalu lintas maut terjadi di Jalan…
NYALAUSANTARA, JAKARTA- Sebuah acara dialog pelestarian warisan budaya China-ASEAN,…
NYALANUSANTARA, BEIJING- Jalur Kereta China-Laos melambangkan cita-cita Laos untuk…
NYALANUSANTARA, JAKARTA- Samsung Galaxy S24 FE 5G diluncurkan di…
NYALANUSANTARA, DEPOK- Honda, produsen mobil asal Jepang, merilis varian…
Gulshan Arora, diperankan dengan intensitas yang tenang oleh…
Indonesia kembali menghadirkan karya sinematik menarik lewat film…
Tahun ini, saya menemukan film yang paling membekas…
NYALANUSANTARA, NGAWI- Kecelakaan tragis terjadi di Jalan Raya Ring…
Komentar