ULASAN The Fantastic Four: First Steps – Superhero, Tapi Rasa Keluarga
Daripada adu jotos melawan penjahat super atau ancaman alien yang sok misterius, film ini justru dibuka dengan kabar mengejutkan: Sue Storm hamil. Dalam waktu singkat, film langsung menetapkan nada utamanya—keluarga adalah misi utama Fantastic Four, dan dunia hanyalah latar belakangnya.
Empat tahun telah berlalu sejak mereka jadi pelindung Bumi. Orang-orang mencintai mereka, dan mereka balas mencintai masyarakat. Lewat montase singkat penuh easter egg, kita disuguhi versi padat origin mereka.
Si jenius Reed, pemimpin tangguh Sue, Ben si lembut berhati batu, dan Johnny si nyala abadi—semua diperkenalkan tanpa bertele-tele. Tapi kadang gaya potong cepat ini malah bikin kita kehilangan momen untuk menghirup napas dan menikmati estetika retrofuturistik ala tahun 60-an yang begitu khas.
Dunia mereka bukan dunia kita. Teknologi seperti mata robot H.E.R.B.I.E. yang seperti pemutar kaset, efek suara lawas, dan tata gambar Jess Hall yang sinematik—semuanya menyatu membentuk dunia penuh karakter.
Meski beberapa CGI masih terasa kurang halus, babak akhir film yang memakai miniatur kota New York layak diacungi jempol. Nostalgia bertemu visi futuristik, dan rasanya menyenangkan.
MCU tampaknya makin dewasa. Setelah Thunderbolts, kini First Steps kembali mengurangi candaan slapstick demi ruang bagi pendalaman karakter. Tapi tenang, Johnny dan Ben masih punya momen lucunya—bedanya, kini terasa lebih manusiawi, bukan semata punchline.
Di sinilah film ini bersinar. Vanessa Kirby dan Pedro Pascal tampil luar biasa. Sue tetap dingin dan rasional, bahkan saat tubuhnya sedang berkontraksi. Tapi ancam buah hatinya, dan kamu akan lihat badai sesungguhnya.
Reed? Jenius, ya. Tapi juga rapuh, keras kepala, dan kadang... bikin penonton pengin mencubit mukanya. Tapi di balik semua itu, konflik batin mereka nyata dan membumi.
Ketika Silver Surfer (Julia Garner) memberi peringatan tentang Galactus, Fantastic Four tidak langsung bersiap adu kekuatan. Mereka justru berunding, menganalisis, mencari jalan keluar ilmiah. Di sinilah kita paham: mereka bukan tentara, tapi ilmuwan.
Babak ketiga menyuguhkan kehadiran Galactus yang benar-benar mengguncang. Bukan sekadar raksasa jahat CGI, melainkan lambang kehancuran tak terhindarkan. Musik Michael Giacchino pun berubah jadi mimpi buruk simfoni.
Dari kejar-kejaran di lubang hitam hingga strategi “gila” Reed untuk selamatkan Bumi, film ini tidak pernah lupa bahwa konflik utamanya bukan antara baik vs jahat, melainkan akal sehat vs harapan.
Editor: Lulu
Terkait
The Fantastic Four: First Steps menjadi salah satu…
NYALANUSANTARA, HIROSHIMA- Episode kedua The Fragrant Flower Blooms With…
Terkini
NYALANUSANTARA, Semarang- Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin…
NYALANUSANTARA, Purworejo- Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun…
Miliki Ribuan Perpustakaan Desa, Bunda Literasi Jateng Siapkan “Relima” untuk Perkuat Budaya Membaca
NYALANUSANTARA, Semarang- Provinsi Jawa Tengah (Jateng) saat ini…
NYALANSANTARA, Mungkid- Produktivitas ekspor salak Nglumut yang dikelola…
NYALANUSANTARA, Pemalang– Sebanyak 1.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)…
Film Malam 3 Yasinan produksi Helroad Films dan…
If I Had Legs I’d Kick You adalah…
NYALANUSANTARA, Temanggung– Sejumlah guru Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT)…
NYALANUSANTARA, Banjarnegara— Bencana tanah longsor yang menimpa Dusun…
Guillermo del Toro menghadirkan Frankenstein (2025) sebagai lebih…
NYALANUSANTARA, Banjarnegara– Evakuasi bencana tanah longsor di Dusun…
Komentar