Fiksi Ilmiah China Mengalami Kebangkitan : Dari Tiga Matahari ke Masa Depan Asia
NYALANUSANTARA, Jakarta- Fiksi ilmiah (sci-fi) bukanlah genre baru. Namun dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan kebangkitan genre ini dari arah yang tidak diduga, yaitu China. Jika dahulu fiksi ilmiah lebih banyak dikaitkan dengan para penulis Barat seperti Isaac Asimov, Arthur C. Clarke, atau Ursula K. Le Guin, kini nama Liu Cixin dari China menjadi pusat perhatian global.
Novel "The Three-Body Problem" karya Liu Cixin memenangkan penghargaan Hugo Award dalam kategori novel terbaik pada 2015, yang menandai kali pertama seorang penulis China mendapatkan penghargaan tersebut. Hugo Award merupakan penghargaan paling prestisius untuk genre sci-fi dan fantasi.
Bagi Oni Suryaman, penerjemah versi bahasa Indonesia dari novel tersebut, "The Three-Body Problem" bukan sekadar cerita tentang alien atau sains. "Karya Liu mengangkat pertanyaan besar tentang posisi manusia di alam semesta dan ke mana peradaban kita bergerak," ujarnya kepada Xinhua pada Senin (23/6).
Oni, yang juga seorang pengajar matematika, mengaku takjub pada kedalaman ilmiah dan filosofis novel tersebut, yang telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Saat menerjemahkan, dia mengaku "tantangannya banyak, terutama dalam memahami konteks sejarah China seperti Revolusi Kebudayaan dan berbagai konsep ilmiah yang kompleks. Kalau saya salah paham, terjemahannya pun bisa meleset."
Sementara Silvana, seorang konsultan yang juga penikmat fiksi ilmiah, punya pengalaman serupa saat pertama kali membaca karya Liu Cixin. "Saya memang penggemar tema space exploration, jadi 'The Three-Body Problem' dan 'The Wandering Earth' langsung masuk buat saya," ujarnya. Kemenangan Liu di Hugo Award juga mengawali eksplorasi lebih lanjut Silvana dalam dunia sci-fi China.
Namun, baik Oni maupun Silvana mengutarakan hal yang sama, bahwa fiksi ilmiah China bukan hanya Liu Cixin. Ada Hao Jingfang dengan "Folding Beijing", pemenang novelet terbaik Hugo Award 2016, juga Chen Qiufan dengan "Waste Tide", novel distopia yang menggambarkan realitas limbah elektronik dan kapitalisme digital. "Saya juga sangat merekomendasikan antologi seperti 'Sinopticon' yang diedit Xueting C. Ni dan 'Broken Stars' yang diterjemahkan oleh Ken Liu. Banyak karya penulis perempuan China yang menawarkan isu sosial dan hubungan interpersonal serta inner conflict yang kuat," tambah Silvana.
Salah satu hal yang juga menarik untuk dibahas adalah apa yang membedakan sci-fi China dari sci-fi Barat di mata penikmatnya.
Editor: Redaksi
Sumber: Xinhua
Terkait
NYALANUSANTARA, Semarang- Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) dan…
NYALANUSANTARA, Jakarta- Durian Indonesia akhirnya memiliki kesempatan untuk…
Terkini
NYALANUSANTARA, Grobogan - Sebagai bentuk tanggung jawab sosial…
Film Die My Love karya sutradara Lynne Ramsay…
NYALANUSANTARA, Jakarta - Seluruh 8.563 Desa/Kelurahan di Provinsi…
NYALANUSANTARA, JAKARTA- Dunia sastra Indonesia kembali diramaikan oleh prestasi…
NYALANUSANTARA, Purworejo – Kantor SAR Cilacap mendapatkan informasi…
NYALANUSANTARA, PASURUAN- Siapa sangka lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan…
NYALANUSANTARA, Banyumas - Dalam upaya menjaga dan meningkatkan…
NYALANUSANTARA, Semarang – Bank Jateng kembali mengukuhkan posisinya…
NYALANUSANTARA, Cilacap – Kantor SAR Cilacap mendapatkan informasi…
NYALANUSANTARA, MUMBAI- Aktor legendaris Bollywood, Dharmendra, dikabarkan tengah menjalani…
NYALANUSANTARA, Banyumas – PT KAI Daop 5 Purwokerto…
Komentar