REVIEW M3GAN 2.0: Gagal Menyeimbangkan Aksi dan Horor

REVIEW M3GAN 2.0: Gagal Menyeimbangkan Aksi dan Horor

Beberapa film kerap dijadikan panutan oleh Hollywood saat merancang sekuel, seperti The Empire Strikes Back (1980), The Dark Knight (2008), Aliens (1986), dan Terminator 2: Judgment Day (1991). Karena M3GAN (2022) berfokus pada robot pembunuh, wajar bila sekuelnya memilih menonjolkan aksi ketimbang horor. Namun sayangnya, Gerald Johnstone sebagai sutradara sekaligus penulis naskah tidak memahami sepenuhnya apa yang membuat karya James Cameron begitu berhasil.

Pasca rangkaian pembunuhan di film pertama, M3GAN (digesturkan Amie Donald, disuarakan Jenna Davis) kembali sebagai figur antihero, bertekad melindungi Cady (Violet McGraw), meskipun Gemma (Allison Williams) masih mencurigainya. Lawan mereka adalah robot bernama AMELIA (Ivanna Sakhno), hasil pengembangan dari desain M3GAN namun lebih modern.

Alurnya sangat terinspirasi T2. Tetapi jika Cameron mengorbankan horor demi menambah aksi tembak-menembak, Johnstone hanya menanggalkan horornya saja. Gemma memberi M3GAN program pembatas agar ia tidak bisa membunuh atau berkata kasar. Bayangkan T-800 tanpa shotgun miliknya.

Horor memang hilang, tetapi aksi pun tidak banyak. Akhirnya M3GAN 2.0 berjalan sepanjang 120 menit tanpa greget. AMELIA sebenarnya tidak memiliki program pembatas serupa, namun penyutradaraannya tetap membatasi aksinya. Adegan pembunuhan berlangsung cepat atau bahkan di luar layar. Misalnya saat AMELIA melempar tombak ke dada korban tanpa terlihat darah setetes pun, atau tidak ada gestur menakutkan sebelum membunuh seperti tarian M3GAN di film pertama. AMELIA seolah menganggap membunuh hanya sekadar rutinitas tanpa rasa nikmat menebar teror.

Potensi film ini sebenarnya besar, tetapi tidak tergarap optimal. Bahkan janji duel spektakuler antara dua robot baru benar-benar terjadi di babak akhir. Walaupun Johnstone menunjukkan kemampuannya menggarap aksi dengan kamera yang gesit, durasinya terlalu singkat, seakan tak mau memberikan kepuasan kepada penonton yang sudah menanti.

Di sisi lain, unsur komedi justru diperbanyak, sayangnya kebanyakan berupa humor anak-anak yang kurang lucu, seperti seorang ilmuwan yang salah memakai sapu tangan berlumur obat bius untuk membersihkan ingusnya. Ketika mencoba absurditas kreatif, misalnya M3GAN bernyanyi layaknya Putri Disney, penyajiannya tampak setengah hati dan tidak berani tampil total.

Apa gunanya menghadirkan ide konyol jika takut benar-benar konyol? M3GAN 2.0 terlihat bimbang dalam mencari identitasnya. Belum lagi pesan “pro-AI” yang hendak diselipkan malah terdengar klise tentang harmoni manusia dengan kecerdasan buatan, ditulis secara dangkal. Rasanya pembuat film ini belum menonton Terminator.


Editor: Lulu

Terkait

Komentar

Terkini