REVIEW Qorin 2: Horor Slasher Gelap dengan Kritik Sosial yang Menohok

REVIEW Qorin 2: Horor Slasher Gelap dengan Kritik Sosial yang Menohok

Qorin 2 kembali menghantui layar lebar dengan konsep yang jauh lebih gelap, berani, dan berdarah daripada film pertamanya. Meski memakai judul yang sama, film besutan Ginanti Rona dan penulis Lele Laila ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan Qorin (2022). Satu-satunya benang merah adalah kemunculan sosok jin qorin—makhluk yang menyerupai manusia—kali ini dibalut isu perundungan yang relevan dengan kondisi sosial saat ini.

Diproduksi Rapi Films bersama IDN Pictures, Sky Media, dan Legacy Pictures, film berdurasi 110 menit ini langsung menghentak sejak scene pembuka. Pendekatannya yang frontal, gore, dan bernuansa slasher membuat penonton diseret ke suasana mencekam tanpa kesempatan bernapas.

Premis Baru yang Lebih Membumi

Qorin 2 mengangkat kisah Makmur (Fedi Nuril), seorang pemulung yang hidup sederhana. Dunia Makmur hancur ketika mendapati putranya, Jaya (Ali Fikry), menjadi korban bullying brutal di sekolah. Lebih ironis lagi, pihak sekolah memilih bungkam demi menjaga reputasi. Terpojok dan dipenuhi putus asa, Makmur mengambil jalan kelam: memanggil jin qorin untuk membalas dendam. Sejak itu, figur berponco misterius mulai meneror desa, menjadi simbol kemarahan yang tak lagi terbendung.

Film ini tidak hanya menekankan horor fisik, tetapi juga membuka luka sosial tentang ketidakadilan yang sering dialami kelompok lemah. Qorin menjadi representasi kemarahan seorang ayah yang kehilangan harapan pada hukum dan sistem.

Horor Slasher yang Brutal dan Intens

Berbeda dari film pertamanya yang lebih supernatural, Qorin 2 tampil sebagai horor slasher penuh darah. Adegan kekerasan tersaji tanpa kompromi, memperkuat atmosfer pedesaan Jawa Barat melalui elemen budaya seperti suara karinding. Nuansanya mengingatkan pada film slasher klasik, namun dengan sentuhan lokal yang lebih kelam dan grounded.


Editor: Lulu

Terkait

Komentar

Terkini