ULASAN Happyend: Remaja, AI, dan Wajah Baru Represi

ULASAN Happyend: Remaja, AI, dan Wajah Baru Represi

Di Happyend, para remaja kerap bersenang-senang dengan “mengawasi” teman mereka—mengira-ngira isi percakapan atau tingkah laku orang lain. Permainan ini terasa sepele dan tak berbahaya. Namun situasinya berubah drastis ketika pengawasan itu diambil alih oleh AI dan dijadikan alat kekuasaan untuk menekan kebebasan.

Berlatar Tokyo masa depan yang terasa dekat, film ini mengikuti Kou dan Yuta, dua siswa SMA yang gemar membuat onar. Keisengan mereka terhadap mobil kepala sekolah Nagai justru berujung petaka: dipasangnya sistem keamanan berbasis AI yang mengontrol gerak-gerik murid dengan dalih keselamatan. Proteksi berubah menjadi opresi, mencerminkan praktik kekuasaan di dunia nyata.

Neo Sora tak berhenti di sana. Ia menyoroti dampak kebijakan tersebut pada kelompok minoritas, termasuk Kou yang merupakan keturunan Korea. Aturan diterapkan lebih keras pada mereka, menyingkap rasisme dan xenofobia yang masih hidup di Jepang modern.

Cerita bergerak lewat dua jalur: Yuta yang tetap keras kepala dengan kenakalan dan musik bawah tanahnya, serta Kou yang perlahan sadar secara politis, terutama setelah bertemu Fumi, aktivis muda yang mengubah cara pandangnya. Naskahnya seimbang—aktivisme garis depan penting, tetapi bentuk perlawanan kecil pun tetap bermakna.

Dengan sinematografi dingin yang menempatkan tokoh-tokoh kecil di tengah beton kota, Happyend menjadi potret remaja yang berlari melawan modernisasi tanpa wajah, berusaha mempertahankan kemanusiaan di tengah pengawasan total.


Editor: Lulu

Terkait

Komentar

Terkini