Dampak Kebijakan Trump, Momentum Indonesia Saingi Vietnam

Dampak Kebijakan Trump, Momentum Indonesia Saingi Vietnam

NYALANUSANTARA, Jakarta - Dalam rangka merespons dinamika global yang berkembang pesat, Universitas Paramadina baru-baru ini menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “100 Hari Trump: Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia?”. Acara ini mengulas dampak kebijakan Presiden Donald Trump selama 100 hari pertama masa jabatannya di periode kedua terhadap kondisi global dan Indonesia, khususnya dari sisi ekonomi dan geopolitik diadakan secara online melalui zoom meeting.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyoroti sampul The Economist baru-baru ini yang menggambarkan elang Amerika Serikat dalam keadaan babak belur, seolah mengeluh ‘masih 1.361 hari lagi’ sebuah simbol pesimisme global terhadap kebijakan Trump. Data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbuh negatif sebesar -0,3% pada kuartal pertama 2025, sementara JP Morgan memperkirakan potensi resesi mencapai 40%. Imbas kebijakan perdagangan juga terasa, dengan penurunan impor AS dari Tiongkok hingga 70–80%.

Lebih lanjut, indeks kepercayaan konsumen AS turun ke angka 86, di bawah ambang normal 100. Namun, alih-alih mengakui krisis, Trump justru masih dalam kondisi penyangkalan dan terus menyalahkan Joe Biden atas kegagalan ekonomi ini.

Menurut Wijayanto, ada dua temuan utama dalam gaya kepemimpinan Trump. Pertama, Trump memandang dunia sebagai panggung reality show, di mana semakin kontroversial suatu isu, semakin menarik bagi dirinya. Kedua, ia bersama tokoh seperti Elon Musk menunjukkan kekhawatiran besar terhadap potensi kebangkrutan fiskal AS, yang menjadi dasar kebijakan mereka.

“Selama 10 tahun terakhir, defisit anggaran AS berkisar antara 3,1% hingga 5,8% terhadap PDB. Kenaikan tarif impor yang digagas Trump diklaim untuk melindungi industri dalam negeri dan mengurangi beban fiskal, namun kalkulasi yang keliru justru memperparah keadaan. Perang dagang Trump bergerak dalam tiga dimensi: mempertahankan hegemoni AS, mengurangi defisit perdagangan, dan menekan defisit anggaran” tegas Wijayanto.

Bagi Indonesia, situasi ini berdampak langsung. Sekitar 45,4% dari surplus ekspor Indonesia berasal dari Amerika Serikat, menjadikan negeri ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi AS. Wijayanto menekankan pentingnya respons nasional yang terstruktur. Pemerintah, dalam keadaan darurat ini membentuk tiga satuan tugas sudah sangat baik yaitu satgas perundingan dagang, satgas perluasan kesempatan kerja, dan satgas deregulasi. “Kita membutuhkan deregulasi total, full-blown deregulation. Saatnya Indonesia bersaing eye to eye dan neck to neck dengan Vietnam, yang kini menjadi outlier dalam menarik investasi global secara mengesankan” tutur Wijayanto.

Ia juga menyoroti Country Complexity Index yang menunjukkan rendahnya kecanggihan produk ekspor Indonesia. Sebagian besar ekspor unggulan Indonesia masih berupa komoditas primer seperti batu bara, CPO, tembaga, nikel, minyak, dan gas. Sekitar 40% nilai ekspor Indonesia berasal dari produk-produk ini.


Editor: Tahniah Kimya

Terkait

Komentar

Terkini