Welcome to the Outcast's Restaurant!, Rasa Pahit dari Restoran Para Buangan

Welcome to the Outcast's Restaurant!, Rasa Pahit dari Restoran Para Buangan

NYALANUSANTARA, JAKARTA- Setelah gagal memenuhi ekspektasi partainya, Chef Dennis diusir dan terpaksa membuka restoran demi bertahan hidup. Tak lama kemudian, ia dipertemukan dengan sesama orang buangan yang memiliki nasib serupa. Bersama mereka, Dennis memulai petualangan kuliner bernuansa fantasi—yang sayangnya, tak semanis terdengar di atas kertas.

Secara konsep, Welcome to the Outcast’s Restaurant! tampak menjanjikan: latar dunia fantasi, restoran yang hangat, karakter imut, dan sentuhan kehidupan sehari-hari. Namun, racikan yang berpotensi lezat ini gagal karena satu bahan yang merusak: formula “dibuang dari kelompok” yang terlalu sering digunakan. Bahkan tampilan makanannya pun tak mampu menggugah selera.

Cerita dibuka dengan kelompok Dennis, Silver Wing, melawan seekor naga. Namun, alih-alih melihat klimaks pertempuran, kita langsung melompat ke momen Dennis dipecat dari kelompoknya. Tersisa sendirian, ia membangun restoran bersama Atelier (mantan budak), Henrietta (prajurit berambut kuning), Bachel (pekerja keras yang kelelahan), dan Vivia (petualang pengubah gender).

Konsep “pahlawan buangan” sebenarnya bisa menarik bila diolah segar—apalagi jika yang dibuang adalah seorang koki, bukan petarung atau penyembuh. Sayangnya, anime ini memilih jalur aman: menonjolkan drama berlebihan dan elemen kekerasan yang tak perlu. Ceritanya datar, karakternya hambar. Dennis ditampilkan sempurna tanpa perkembangan berarti, sementara kisah para rekan barunya hanya menjadi pelengkap.

Episode pertama hingga akhir diisi pertemuan klise, penyelamatan ala dungeon, hingga drama murahan seputar perbudakan dan pelecehan. Alur ini seolah berusaha meniru intensitas Goblin Slayer, tapi gagal menghadirkan kedalaman emosional atau makna moral. Pada akhirnya, semua berujung pada klimaks klise: momen “kekuatan persahabatan” yang kosong dan tak berkesan.

Sisi kehidupan restoran yang seharusnya jadi daya tarik utama malah nyaris tak dieksplorasi. Bagaimana restoran Dennis bisa dikenal? Dari mana datangnya pelanggan? Semua pertanyaan itu tak pernah dijawab. Padahal potensi untuk menampilkan perjuangan membangun bisnis kuliner di dunia fantasi begitu besar.

Meski sesekali ada momen kecil yang menarik, misalnya drama pembakaran buku, semuanya tenggelam di balik naskah yang generik dan animasi seadanya. Akhirnya, anime ini menjadi tontonan yang bukan buruk total—tetapi mengecewakan karena gagal memanfaatkan potensinya.


Editor: Lulu

Terkait

Komentar

Terkini