Mencari Hidup di Tengah Puing, Warga Gaza Olah Sampah Jadi Energi

Mencari Hidup di Tengah Puing, Warga Gaza Olah Sampah Jadi Energi

NYALANUSANTARA, GAZA- Di antara reruntuhan bangunan di Gaza City bagian barat, sekelompok warga Palestina mengelola sebuah pabrik darurat yang mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kelangkaan energi yang diperparah oleh blokade Israel selama lebih dari dua bulan terakhir.

Saad al-Din Abu Ajwa (45), pemilik pabrik tersebut, menjelaskan bahwa proses ini dilakukan bukan untuk meraih keuntungan, melainkan demi bertahan hidup. Menurutnya, bahan bakar sangat dibutuhkan untuk menggerakkan fasilitas penting seperti rumah sakit, ambulans, dan pabrik penyulingan air laut.

"Plastik kami kumpulkan dari puing-puing bangunan, lalu dilelehkan," ujar Abu Ajwa sambil menunjukkan bejana logam panas yang mengeluarkan asap tebal. Minyak yang dihasilkan kemudian dipanaskan kembali untuk memisahkan bensin dan solar. Pabrik ini, yang dijalankan bersama saudara dan teman-temannya, mampu memproduksi sekitar 500 liter solar setiap hari.

Solar hasil produksi langsung dijual kepada warga yang mengantre dengan wadah sendiri. Bahan bakar ini digunakan untuk berbagai keperluan esensial seperti kendaraan roda tiga, generator, hingga pompa air. Meski risikonya besar terhadap kesehatan dan keselamatan, warga tak punya pilihan lain.

Sejak konflik pecah pada 7 Oktober 2023, Israel membatasi keras masuknya bantuan ke Gaza. Sejak 2 Maret, akses distribusi bahan bakar bahkan benar-benar ditutup, menurut juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal. Laporan dari badan-badan PBB menunjukkan bahwa bahan bakar yang berhasil masuk ke Gaza sangat terbatas dan diprioritaskan untuk rumah sakit.

Dengan SPBU yang tutup, warga kini mengandalkan solar alternatif ini atau membeli di pasar gelap, di mana harga per liternya bisa mencapai 70 dolar AS. Dibandingkan itu, solar buatan lokal yang dijual sekitar 14 dolar AS per liter masih dianggap mahal, namun lebih terjangkau. Meski begitu, solar ini tidak cocok untuk semua jenis kendaraan, terutama model terbaru yang membutuhkan pencampuran dengan solar standar.

Abu Majed Sukar (38), seorang pengemudi kendaraan roda tiga, menyebut bahan bakar buatan Abu Ajwa sebagai penyambung hidup. Ia menggunakannya setiap hari untuk tetap bekerja, meski proses transportasi menjadi jauh lebih lambat akibat krisis bahan bakar.


Editor: Lulu
Sumber: Xinhua

Terkait

Komentar

Terkini