ULASAN The Life of Chuck,Sebuah Refleksi Puitis tentang Makna Eksistensi

Tahun ini, saya menemukan film yang paling membekas di hati: The Life of Chuck. Ia bukan kisah yang tunduk pada logika naratif konvensional, dan memang tak perlu. Film ini mengajak kita menyerap setiap adegannya dengan hati, bukan kepala. Dan ketika layar mulai gelap di akhir film, mungkin Anda juga akan mendapati diri terdiam, memandang ruang kosong di layar, lalu bergumam lirih, “Hidup ini berharga.”
Diadaptasi dari novela karya Stephen King dengan judul yang sama, film ini menyajikan narasi yang kadang terasa sangat “literer”—penuh obrolan panjang dan narasi yang cerewet. Namun, dibandingkan dengan keindahan visual dan emosional yang ditawarkan film ini, kekurangan itu nyaris tak terlihat.
Strukturnya terbagi ke dalam tiga babak yang berjalan mundur, masing-masing merekam fase kehidupan Charles “Chuck” Krantz (Tom Hiddleston). Babak terakhir justru muncul di awal, saat dunia di ambang kehancuran. Seorang guru, Marty (Chiwetel Ejiofor), mendapati dirinya dihujani iklan misterius berisi ucapan terima kasih kepada Chuck. Poster, baliho, layar TV — semua memuja seseorang yang tidak dikenalnya, bahkan oleh orang lain sekalipun. Namun dunia tetap melaju menuju kiamat, mengabaikan rasa penasaran manusia akan sosok ini.
Disutradarai Mike Flanagan, yang dikenal sebagai maestro horor, The Life of Chuck adalah debutnya dalam genre non-horor. Meski demikian, atmosfer khas Flanagan tetap terasa. Adegan ketika Marty berbincang dengan mantan istrinya (diperankan dengan sangat emosional oleh Karen Gillan) di bawah langit malam yang mulai berubah, menjadi salah satu momen paling menggetarkan—sebuah pengingat akan betapa kecil dan rapuhnya manusia di tengah semesta yang luas.
Namun kerentanan itu tidak berarti hampa. "I contain multitudes," kutip puisi Song of Myself karya Walt Whitman yang dibacakan oleh Miss Richards (Kate Siegel), guru Chuck semasa kecil. Kalimat ini menjadi kunci untuk memahami bahwa tiap individu, sesederhana apa pun, memuat semesta tersendiri yang penuh makna.
Bukan pemahaman rasional yang Flanagan kejar dari penontonnya, melainkan pengalaman emosional. Film ini ingin kita ikut larut, terutama dalam babak kedua yang diwarnai oleh “tarian di jalanan” — sebuah momen magis di mana Tom Hiddleston dan Annalise Basso berbicara lewat gerak, bukan kata.
Penampilan Mark Hamill sebagai Albie, kakek Chuck, juga meninggalkan kesan mendalam. Sosok tua yang lelah, mengetahui apa yang akan terjadi, tapi tak kuasa mencegahnya. Dalam dirinya, kita menangkap satu pelajaran: terkadang, ketidaktahuan adalah anugerah.
Editor: Lulu
Terkait
Kalau kamu penggemar Dan Da Dan, bersiaplah untuk…
Indonesia kembali menghadirkan karya sinematik menarik lewat film…
Terkini
Rooms Inc Semarang sukses kembali menghadirkan pengalaman kuliner…
NYALANUSANTARA, Semarang - Pajak merupakan sumber utama penerimaan…
NYALANUSANTARA, Demak- Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin…
NYALANUSANTARA, Jakarta- Sebanyak 10 perusahaan makanan asal Indonesia…
PT KAI Wisata menghadirkan kereta wisata uap “Baru…
NYALANUSANTARA, Banjarnegara - Tim SAR Gabungan mengevakuasi jasad…
NYALANUSANTARA, Semarang -- Satgas Operasi Patuh Candi 2025 memberi…
NYALANUSANTARA, Semarang - Kabupaten Pegunungan Bintang di Provinsi Papua…
LAWANG SEWU merupakan salah satu bangunan bersejarah di…
NYALANUSANTAARA, Semarang — Jajaran Polrestabes Semarang bersama unsur TNI…
NYALANUSANTARA, Semarang – Aipda Nur Rohim, Bagian SDM Polrestabes…
Komentar