Fenomena Post-Truth: Ketika Influencer Lebih Didengar daripada Pakar

Fenomena Post-Truth: Ketika Influencer Lebih Didengar daripada Pakar

Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Angga Prawadika Aji S.IP., M.A.,

NYALANUSANTARA, Surabaya – Fenomena "matinya kepakaran" atau "the death of expertise" semakin mengkhawatirkan di era post-truth. Di era ini, informasi yang populer dan sensasional di media sosial kerap lebih dipercaya daripada penjelasan dari pakar di bidangnya. 

Hal ini disoroti oleh Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Angga Prawadika Aji S.IP., M.A., yang menyebut ada dua faktor utama di balik fenomena ini, yakni perkembangan politik dan popularitas media sosial.

Menurut Angga, perkembangan politik dan dominasi media sosial berkontribusi besar pada fenomena post-truth yang mengakibatkan matinya kepakaran. 

“Post-truth berkaitan dengan perkembangan politik dan popularitas media sosial. Keduanya membentuk fenomena ini sehingga sering menimbulkan perdebatan, terutama terkait dengan kepakaran yang tidak lagi dianggap penting,” ujarnya.

Media sosial kini menjadi panggung bagi semua orang, tanpa memandang keahlian di bidang tertentu. Menurut Angga, media sosial memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu, termasuk mereka yang tidak memiliki kapabilitas khusus, untuk didengar. 

Fenomena ini, lanjutnya, sejalan dengan pernyataan ahli semiotika Umberto Eco yang menyebut media sosial sebagai sumber masalah besar, di mana mereka yang tidak memiliki keahlian khusus dapat berbicara setara dengan para pakar.

Dampaknya, informasi sering diukur berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas ketimbang validitas ilmiah. 


Editor: Admin

Terkait

Komentar

Terkini