REVIEW Ikatan Darah: Lompatan Baru Aksi Indonesia dari Uwais Pictures

REVIEW Ikatan Darah: Lompatan Baru Aksi Indonesia dari Uwais Pictures

Saya teringat pertemuan dengan Iko Uwais setelah penayangan perdana The Raid di JAFF 2011. Saat itu ia masih pemuda pemalu yang belum menyandang status “bintang laga internasional”. Kini, 14 tahun kemudian, ia kembali ke festival yang sama bukan sebagai aktor, melainkan sebagai pemilik rumah produksi yang memperkenalkan karya debutnya. Film berjudul Ikatan Darah—yang disutradarai Sidharta Tata dan akan lebih dulu rilis di bioskop akhir tahun ini—menjadi langkah awal Uwais Pictures di ranah produksi.

Seperti The Raid, film ini menjadikan hubungan persaudaraan sebagai inti cerita. Bedanya, sang jagoan bukan anggota pasukan khusus, melainkan seorang mantan atlet bela diri bernama Mega (Livi Ciananta), yang terpaksa pensiun dini akibat cedera. Hidupnya berubah ketika nyawa sang kakak, Bilal (Derby Romero), diincar organisasi kriminal setelah ia membunuh salah satu anggota mereka karena terlilit hutang.

Ditulis oleh Rifki Ardisha dan Sidharta Tata, Ikatan Darah tidak menawarkan cerita yang kompleks. Namun naskahnya piawai memperkenalkan deretan antagonis eksentrik yang kuat secara karakter, seolah menjadi “parade kriminal” yang penuh magnet. Teuku Rifnu memerankan Primbon, pendeta sadis yang kerap berkhotbah sebelum membunuh, sementara Rama Ramadhan mencuri perhatian sebagai Macan—anak buah Primbon yang ditakuti, bertato “aing macan”, gemar ngemil gorengan, dan penuh celetukan Sunda.

Meski ceritanya tipis untuk durasi hampir dua jam, kehadiran tokoh-tokoh unik mampu menjaga daya tarik film. Apalagi sebagian besar pemain adalah praktisi bela diri sungguhan. Livi Ciananta tampil meyakinkan sebagai calon bintang aksi besar berikutnya, begitu pula Ismi Melinda yang berperan sebagai Dini, sahabat Mega dengan dinamika yang mengingatkan pada duo Iko Uwais–Donny Alamsyah di The Raid. Kini, layar aksi Indonesia mulai diisi oleh sosok-sosok perempuan tangguh.

Dari segi eksekusi, Ikatan Darah menjadi wadah bagi Sidharta Tata untuk menumpahkan eksplorasi teknis khasnya. Mulai dari pergerakan kamera liar arahan Arah Ferry Rusli, koreografi silat dari tim Uwais, hingga adegan sadis yang efektif memancing sorakan penonton. Humor khas Sidharta sesekali disisipkan untuk mencairkan suasana.

Satu adegan menonjol adalah ketika para tokoh utama menghadapi musuh bersenjatakan mesin pemotong rumput—momen penuh ketegangan yang dieksekusi dengan akurat. Bila The Raid memanfaatkan lorong apartemen sempit sebagai arena tempur, Ikatan Darah menjelajah gang-gang perkampungan layaknya labirin untuk baku hantam intens.

Namun, pasca pertarungan brutal melawan Macan—yang sebenarnya layak menjadi klimaks—intensitas film sedikit menurun. Aksi tetap solid, tetapi terlihat ada keraguan untuk terus mendorong eskalasi hingga akhir. Kendati demikian, Ikatan Darah tetap menjadi bukti bahwa Uwais Pictures telah memulai fondasi kuat untuk perjalanan panjang mereka di dunia perfilman aksi Indonesia.


Editor: Lulu

Terkait

Komentar

Terkini